Tatalogam Lestari

Wakil Menteri Pekerjaan Umum: Arsitek Berperan Atasi Perubahan Iklim di Indonesia

  • May 14, 2025
  • 0 Comments

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU), Diana Kusumastuti berharap agar semua arsitek di Indonesia bisa terus berinovasi dan juga berkolaborasi dengan pihak-pihak terkait agar bisa berperan aktif dalam aksi mitigasi perubahan iklim.

Hal itu disampaikan Diana dalam sambutannya di pembukaan forum dan pameran arsitektur ARCH:ID 2025 yang digelar mulai tanggal 8 sampai 11 Mei 2025 di ICE BSD City, Tangerang Selatan, Jumat(9/5/2025).

“Di tengah krisis iklim dan disrupsi teknologi, salah satu strategi utama untuk meningkatkan performa arsitektur dan juga industri konstruksi adalah bagaimana mereduksi emisi karbon di sektor bangunan gedung. Nah disinilah arsitek mempunyai peran yang sangat penting. Karena arsitek tidak bisa lepas dari bangunan gedung. Dan beberapa strategi reduksi yang bisa dilakukan ini tentunya untuk mengurangi penggunaan energi melalui perubahan perilaku dan juga efisiensi energi. Ini yang benar-benar selalu kita tekankan,” kata Diana.


Diana menyebut, pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui upaya aksi mitigasi perubahan iklim.

Hal ini telah diratifikasi dalam UU nomor 16 tahun 2016 dan juga dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dimana Indonesia menargetkan penurunan NDC carbon itu sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri, dan 43,2 persen dengan bantuan internasional di tahun 2030.

Emisi secara global ini juga termasuk embedded carbon di sektor pengguna gedung.

Diana menjelaskan, salah satu langkah nyata dalam upaya mitigasi perubahan iklim ini dilakukan kementerian PU dengan mengatur pemenuhan mandatory dan juga sukarela terhadap standar teknis Bangunan Gedung Hijau (BGH) dan Bangunan Gedung Cerdas (BGC). Menurutnya, standar teknis ini yang harus dipahami arsitek saat ini.

“Prinsip BGH dan BGC ini adalah mengusung konsep reduce, reuse, dan recycle. Jadi terhadap sumber daya yang digunakan dan juga berorientasi pada siklus hidup serta menerapkan desain pasif maupun desain aktif. Yang tentunya harus terintegrasi guna untuk mereduksi penggunaan energi tadi. Ini tugasnya arsitek. Tugasnya arsitek agar bisa mencapai bangunan gedung tadi bisa net zero emission. Mudah-mudahan nanti semuanya bisa dilakukan,” ujar Diana.

Selain penerapan standar teknis BGH maupun BGC dalam penyelenggaraan konstruksi, arsitek juga harus bisa mengusung land construction teknologi seperti yang sudah diterapkan kementerian PU melalui Building Information Modeling (BIM).

BIM ini yang digunakan untuk memperhitungkan bagaimana analisis beban energinya, sehingga pembangunan gedung dapat dilakukan secara efisien dan berkelanjutan.

Upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah ini sendiri mendapat dukungan penuh para peserta pameran yang hadir menampilkan desain-desain bangunan mereka.

Salah satunya disampaikan oleh Christi Pramudianti Wihardjono, Business Development Manager PT Tatalogam Lestari (Tatalogam Group) yang tampil dengan desain arsitektur berjudul Ruang Riung: Fingerprint of Indonesia.

Christi menyebut, pembangunan yang berkelanjutan harus juga didukung dengan material konstruksi yang dalam proses manufaktur, proses produksi hingga proses distribusinya menghasilkan emisi karbon yang sangat rendah.

“Semua produk baja ringan yang diproduksi Tatalogam Lestari pastinya sudah ramah lingkungan yah. Karena keberlangsungan lingkungan sudah menjadi salah satu fokus utama kami di Tatalogam Group, dimana kami menaungi PT Tatalogam Lestari sebagai produsen baja ringan di sektor hilir, dan Tata Metal Lestari sebagai penyedia bahan bakunya. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya sertifikasi Industri Hijau dari Kemenperin dan sertifikasi lain dari dalam dan luar negeri. Bahkan kini beberapa material kami sedang dalam proses GSE (Greenship Solution Endorsement) untuk memberikan suatu kepastian bahwa material kami dalam proses manufakturingnya, dalam proses produksinya, sampai proses distribusinya menghasilkan jejak karbon yang sedikit,” kata Christi.

Diana menyebut, pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui upaya aksi mitigasi perubahan iklim.

Hal ini telah diratifikasi dalam UU nomor 16 tahun 2016 dan juga dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dimana Indonesia menargetkan penurunan NDC carbon itu sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri, dan 43,2 persen dengan bantuan internasional di tahun 2030.

Emisi secara global ini juga termasuk embedded carbon di sektor pengguna gedung.

Diana menjelaskan, salah satu langkah nyata dalam upaya mitigasi perubahan iklim ini dilakukan kementerian PU dengan mengatur pemenuhan mandatory dan juga sukarela terhadap standar teknis Bangunan Gedung Hijau (BGH) dan Bangunan Gedung Cerdas (BGC). Menurutnya, standar teknis ini yang harus dipahami arsitek saat ini.

“Prinsip BGH dan BGC ini adalah mengusung konsep reduce, reuse, dan recycle. Jadi terhadap sumber daya yang digunakan dan juga berorientasi pada siklus hidup serta menerapkan desain pasif maupun desain aktif. Yang tentunya harus terintegrasi guna untuk mereduksi penggunaan energi tadi. Ini tugasnya arsitek. Tugasnya arsitek agar bisa mencapai bangunan gedung tadi bisa net zero emission. Mudah-mudahan nanti semuanya bisa dilakukan,” ujar Diana.

Selain penerapan standar teknis BGH maupun BGC dalam penyelenggaraan konstruksi, arsitek juga harus bisa mengusung land construction teknologi seperti yang sudah diterapkan kementerian PU melalui Building Information Modeling (BIM).

BIM ini yang digunakan untuk memperhitungkan bagaimana analisis beban energinya, sehingga pembangunan gedung dapat dilakukan secara efisien dan berkelanjutan.

Upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah ini sendiri mendapat dukungan penuh para peserta pameran yang hadir menampilkan desain-desain bangunan mereka.

Salah satunya disampaikan oleh Christi Pramudianti Wihardjono, Business Development Manager PT Tatalogam Lestari (Tatalogam Group) yang tampil dengan desain arsitektur berjudul Ruang Riung: Fingerprint of Indonesia.

Christi menyebut, pembangunan yang berkelanjutan harus juga didukung dengan material konstruksi yang dalam proses manufaktur, proses produksi hingga proses distribusinya menghasilkan emisi karbon yang sangat rendah.

“Semua produk baja ringan yang diproduksi Tatalogam Lestari pastinya sudah ramah lingkungan yah. Karena keberlangsungan lingkungan sudah menjadi salah satu fokus utama kami di Tatalogam Group, dimana kami menaungi PT Tatalogam Lestari sebagai produsen baja ringan di sektor hilir, dan Tata Metal Lestari sebagai penyedia bahan bakunya. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya sertifikasi Industri Hijau dari Kemenperin dan sertifikasi lain dari dalam dan luar negeri. Bahkan kini beberapa material kami sedang dalam proses GSE (Greenship Solution Endorsement) untuk memberikan suatu kepastian bahwa material kami dalam proses manufakturingnya, dalam proses produksinya, sampai proses distribusinya menghasilkan jejak karbon yang sedikit,” kata Christi.

“Ruang riung adalah pusat komunitas yang dirancang untuk mendorong interaksi sosial, pertukaran budaya, dan tindakan kolektif. Berakar pada tradisi ruang komunal Indonesia. Bentuk instalasi ini terinspirasi dari keberagaman budaya dan alam Indonesia yang sangat beragam, sehingga tidak meniru bentuk daerah mana pun secara harfiah. Dengan mengekstraksi prinsip-prinsip bersama; struktur yang ditinggikan, kurva organik, dan tingkatan berlapis, desain ini mengundang interpretasi terbuka. Pengunjung mungkin melihat Siluet atap Rumah Gadang, irama deburan ombak laut, atau simetri terasering, menggambarkan jati diri Indonesia yang majemuk,” kata Grady.



Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Wakil Menteri Pekerjaan Umum: Arsitek Berperan Atasi Perubahan Iklim di Indonesia, https://www.tribunnews.com/nasional/2025/05/09/wakil-menteri-pekerjaan-umum-arsitek-berperan-atasi-perubahan-iklim-di-indonesia?page=2.
Penulis: willy Widianto
Editor: Wahyu Aji